Backsong yang pas sambil baca cerpennya. Enjoy listening and happy reading :)
Sabrina-Perfect
“Papa nggak mau makan?” Tanya Pricilla, anakku yang
paling kecil.
Aku sudah mencapai apa yang aku inginkan, rasanya
cepat sekali waktu berlalu…
“kamu mau jadi apa nggak nurut sama Papa?!”
“tapi aku nggak mau Pa jadi dokter!”
“kamu kok nggak nurut sama orang tua?! Jadi dokter
itu enak. Kerjanya mulia, uangnya banyak, masa depan terjamin. Kamu nggak mau
hidup enak kayak mas mu itu! Sekarang bisa keliling dunia gara-gara jadi
dokter!”
“ya, tapi aku nggak mau Pa jadi dokter!”
“terus kenapa kamu ikut tes kemarin? Kamu sudah keterima,
Yoga! Tinggal masuk aja dan buat Papa bangga lah!”
“kan yang suruh tes itu Papa, bukan aku.”
“terus kamu mau jadi apa?”
“Band ku mau rekaman Pa..”
“Apa?! Kamu mau jadi apa dengan band-band mu yang
ngga jelas itu! Kamu mau buat papa malu?”
“tapi aku punya bakat di situ Pa. Papa tolong
dukung aku…”
“kamu cuma buang-buang waktu dengan nge band mu
yang nggak jelas itu! Kalau kamu nggak mau nurut sama Papa, lebih baik kamu
pergi dari sini!
Dan sejak pertengkaran itu, aku jadi merenggang
dengan Papa. Sentuhan Mama yang seharusnya aku dapatkan tidak ada lagi, Mama
meninggal kena serangan jantung 5 tahun yang lalu. Kebodohanku ketika aku pergi
meninggalkan Papa di Yogya untuk mengejar impianku dan teman se band ku rekaman
dan menjadi band terkenal. Aku memang berbeda dengan mas Yogi, dia memang
pintar dan penurut. Dari kecil Papa selalu membanggakan mas Yogi. Juara kelas
dan apalah itu..
Sekarang dia menjadi dokter jantung di Yogya dan
memiliki 2 anak yang lucu-lucu. Alika dan Aiko. Aaah, aku kangen mereka.
Keegoisanku luntur ketika Papa dirawat selama 3
bulan. Dan hari ini Papa di rawat di rumah, meskipun dengan pantauan dan
alat-alat rumah sakit. Rasa bersalahku muncul tepat di tengah karir band ku
yang cukup naik daun kala itu. Bertahun-tahun aku pergi meninggalkan Papaku
sendiri, hidup berdua dengan adik kecilku, Yuki. Sekarang, Yuki sudah SMA kelas
2. Sudah besar rupanya adik kecilku ini.
“Mas Yoga, apa kabar? Lama nggak ketemu… dapat
kabar dari mana kalau Papa sakit?” katanya dengan hangat
“Mas Yogi.” Memang, selama ini aku masih
berhubungan dengan mas Yogi. Meskipun hanya lewat skype.
Aku bimbang, di kala kegalauan mempertahankan
cita-cita atau menuruti orang tua..
Aku melihat rumahku yang sempat kutinggalkan selama
10 tahun. Suasana yang tetap seperti dulu. Kamarku…, masih sama seperti sebelum
aku meninggalkannya demi ke Jakarta. Banyak foto yang mengingatkanku pada Papa.
Foto-fotoku ketika masih kecil, ketika Papa masih sehat. Hatiku kacau, apa yang
ku perbuat ini salah? Tidak mau mengikuti apa kata Papa, atau pergi mengejar
cita-citaku selama ini.
Aku melihat Papa yang sedang tidur dengan alat
bantu oksigen di wajahnya “Pa, lihat Yoga sekarang. Yoga sudah sukses Pa.. Papa
nggak mau lihat Yoga manggung? Papa nggak mau duduk di paling depan waktu Yoga
konser? Papa ngga mau tepuk tangan paling keras sehabis Yoga manggung? Cepat sembuh
Pa..”
Aku hanya berdua dengan Papa di kamar ini. Hanya di
temani suara kecil dari alat pendeteksi detak jantung..
Tiba-tiba Papa terbangun… Syukurlah…
“Yoga? Maafkan Papa, Nak.. Papa sudah memaksakan
kamu buat nurutin apa kata Papa. Papa ngaku salah…” kata Papa sambil meneteskan
air mata.
“Yoga juga minta maaf Pa.. Yoga nggak mau nurutin
apa kata Papa… Yoga lebih milih ngejar cita-cita dan maafin Yoga juga Pa, Yoga sudah
ninggalin Papa buat pergi ke Jakarta…”
Aku mencium tangan Papa... Papa hanya tersenyum dan
memejamkan mata. Rasanya lega bisa melihat Papa tersenyum. “Papa mau istirahat
dulu? Yoga tinggal ya..”
Beban hilang rasanya, sudah minta maaf dari Papa.
Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit… tiba-tiba suara
pendeteksi jantung itu berubah. Aku langsung menoleh ke belakang? Papa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar sih boleh . malah bagus ... tapi yang sopan ya :)